Tuesday, March 31, 2009

Apologetika

HARUSKAH AKU PERCAYA

KEPADA YESUS???

Sebuah Refleksi Kisah Para Rasul 4:12

”Dan keselamatan itu tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.”


Dalam perenunganku beberapa waktu ini, sebuah pertanyaan muncul dipikiranku, yang membuatku bertanya-tanya dan mencari jawabannya. “Haruskah aku percaya kepada Yesus??” Saya pikir pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang hampir pasti ditanyakan oleh banyak orang. Perenunganku ini membawa aku kembali pada suatu percakapan dengan seorang supir taksi, 2 tahun silam. Dalam percakapan itu kami banyak berbicara mengenai kehidupan dan kematian. Kami sama-sama setuju bahwa kehidupan terkadang merupakan sebuah peristiwa yang berulang-ulang seperti sebuah siklus (lahir-bertumbuh dewasa-mati). Siklus yang pada akhirnya membawa banyak manusia kepada kejenuhan hidup. Kami juga banyak berbicara mengenai kehidupan yang kami jalani, mengenai bagaimana sulitnya menjalani hidup di zaman yang semakin maju ini, zaman yang memberikan manusia ketidakpastian dalam menjalani hidup.


Namun di tengah pembicaraan kami, saya cukup terkejut ketika pak supir mengutarakan kekuatirannya akan kehidupan tetapi dia juga kuatir akan kematian. Dia mengatakan, “Jangankan hidup di dunia, akhirat aja kita juga belum tentu selamat.” Mendengar hal itu, saya mulai bertanya kepada bapak ini, ”Mengapa tidak pasti pak? Bukankah setiap agama punya jalan keselamatannya masing-masing?” Dia hanya tersenyum getir tanpa berkata apa-apa.

Kematian seringkali menjadi hal yang begitu sensitif untuk dibicarakan. Banyak orang seringkali menghindar ataupun menolak untuk membicarakan topik ini. Kematian seakan menjadi barang yang tabu untuk dibicarakan. Rasanya membicarakan hal ini, sepertinya hanya akan membawa kematian semakin mendekat kepada kita. Perilaku ini juga dapat terlihat di beberapa bangunan yang tidak memiliki lantai 4, 14,dan seterusnya. Hal ini dilakukan karena angka 4 dalam bahasa Mandarin punya pengertian yang hampir sama dengan ”mati”. Semua ini, semakin menjelaskan betapa takutnya manusia terhadap ”kematian”. Kematian seakan menjadi hantu yang senantiasa menghantui kehidupan manusia.

Hal inilah yang membuatku mulai bertanya, ”Haruskah Aku Percaya Kepada Yesus??” Jika di dalam dunia tidak ada seorangpun yang sanggup menjamin keselamatanku, lalu apa istemewanya seorang Yesus? Yang berarti aku harus percaya kepadanya untuk mendapatkan keselamatan. Bahkan tidak takut menghadapi kematian sekalipun. Mampukah Yesus menjamin semua itu?? Ketika aku berpikir, terlintas dipikiranku sebuah ayat dalam Kisah Para Rasul 4:12 yang mengatakan, ”Dan keselamatan itu tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.”


Sebuah ayat yang begitu fenomenal. Sebuah ayat yang begitu menggetarkan. Sebuah tindakan yang sangat berani yang dilakukan oleh Petrus dan juga Yohanes, mengingat saat itu mereka berada di pengadilan, di hadapan para mahkamah agama, karena banyaknya orang yang percaya kepada Yesus. Bayangkan saja, di hari ketika mereka memberitakan tentang Yesus, Kisah Para Rasul 4:4 menyebutkan bahwa jumlah orang percaya menjadi kira-kira 5000 orang laki-laki (belum termasuk wanita dan anak). Suatu peristiwa yang luar biasa. Tetapi apa istimewanya Yesus?? Sehingga kita harus percaya kepada-Nya?? Karena ada keselamatan di dalam Yesus.


Masalah utama kehidupan manusia memang tidak dapat dilepaskan dari ”DOSA”. Keberadaan dosa dalam hidup manusia membuat manusia seringkali tidak lagi dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Bahkan akibat dosa membuat manusia tidak lagi dapat melakukan sesuatu yang benar. Dosa yang mengikat manusia juga menjadikan dunia kita tidak lagi memiliki kebenaran yang absolut/mutlak. Coba perhatikan tiap norma yang ada dalam masyarakat, samakah norma dalam suatu masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya?? Tentu saja berbeda. Bahkan dalam masyarakat dunia berkembang yang namanya bohong putih (sering juga disebut sebagai bohong untuk sebuah kebaikan). Bayangkan, untuk melakukan kebaikan saja, manusia harus melakukan sebuah kesalahan.

Sementara kita terus melakukan kejahatan, di sisi lain kita berusaha mengimbangi perbuatan jahat kita dengan melakukan sebanyak-banyaknya perbuatan baik, yang tentunya tidak cukup untuk menutupi semua perbuatan jahat kita. Apalagi perbuatan baik kita, seringkali juga dilakukan tanpa ketulusan hati, penuh intrik dan tipu muslihat. Suka atau tidak, inilah kenyataannya. Jika keselamatan kita ditentukan oleh perbuatan baik kita, maka merupakan sesuatu yang sangat ”MUSTAHIL” bagi manusia mendapatkan keselamatan. Kalau tidak percaya, coba lakukan perhitungan, dalam satu hari berapa banyak kita melakukan kebaikan dan berapa banyak kita melakukan kejahatan (Ingat hal ini bukan hanya yang tampak dalam tingkah laku, tetapi juga menyangkut pikiran dan hati kita)? Dan anda akan melihat hasil yang mengagetkan, karena pada akhirnya kejahatan kita lebih banyak daripada kebaikan kita.

Dan pertanyaan yang lebih dalam, ”Jika semua manusia berdosa dan tidak bisa melepaskan diri dari keberdosaannya, maka mungkinkah manusia bisa saling menyelamatkan? Rasanya hal itu tidak mungkin. Bagaimana kita bisa menyelamatkan orang lain, sementara kita sendiri tidak sanggup menyelamatkan diri kita sendiri? Bahkan pada kenyataannya, tidak ada seorang manusia pun yang rela mati bagi manusia lainnya. Jangankan memberikan nyawa, berbagi tempat duduk di dalam busway saja sudah sulit, benar tidak?? Celakanya Dosa yang kita hadapi membawa kita ke dalam maut, yang berarti kematian. Aku ingat dalam surat Roma 6:23 dikatakan bahwa upah dosa adalah maut.

Jika manusia tidak dapat melepaskan diri dari dosa, siapa yang dapat membebaskan manusia dari dosa dan maut? Ketika merenungkan pengharapan iman ini, sekali lagi aku membuka Kisah Para Rasul 4:12, dan melihat satu jawaban mutlak yang aku perlukan untuk menjawab pertanyaanku mengenai keselamatan hidupku, yaitu Yesus Kristus.


Kita seringkali mendengar suatu ungkapan yang mengatakan, ”Apalah arti sebuah nama...” Melalui pribadi Yesus, kita bisa melihat betapa pentingnya arti sebuah nama. Sebuah nama yang diberikan oleh orang tua kita, harusnya merupakan sebuah harapan dari orang tua terhadap hidup dan masa depan anaknya. Nama Yesus sendiri dalam bahasa Aram maupun Ibrani memiliki arti Allah menyelamatkan. Jadi jelas sekali, bahwa kehadiran-Nya di dalam dunia mempunyai suatu misi untuk memberikan keselamatan bagi banyak orang.


Namun sebuah nama bukan hanya sebatas nama, tetapi nama dalam pengertian bahasa aslinya (bahasa Yunani) memiliki makna kuasa atau otoritas. Ketika kita berbicara mengenai keselamatan, maka kita akan berbicara mengenai pribadi Allah, karena hanya Allah yang dapat membebaskan manusia dari dosa. Dan Allah menyerahkan tugas penyelamatan itu kepada Yesus. Allah memberikan otoritas dan kuasa-Nya untuk menyelamatkan hanya kepada Yesus bukan kepada orang lain.

Untuk memahami hal ini, kita perlu sejenak melihat dalam dunia kita sehari-hari. Ketika kita memberikan perintah kepada seorang kurir, maka kurir itu akan melakukan perintah tersebut berdasarkan otoritas dan kuasa yang diberikan atasannya. Dan tidak ada seorangpun yang dapat melakukan pekerjaan itu selain kurir yang diberikan perintah.


Demikian halnya dengan tugas penyelamatan Allah bagi manusia. Tugas ini tidak dapat dikerjakan oleh orang lain, karena hanya Yesus yang diberikan kuasa untuk menyelamatkan manusia dari dosa yang mengekang manusia. Jika demikian, ”Haruskah aku percaya kepada Yesus?” Jawabannya HARUS. Karena hanya Yesus yang dapat menyelamatkan hidupmu dan hidupku.

Setelah aku merenungkan hal ini, aku berdiam diri sejenak dan berdoa kepada Tuhan Yesus, bersyukur untuk keselamatan yang Dia berikan padaku. Dan sekali lagi imanku kepada-Nya dikuatkan. Terima kasih Tuhan Yesus.


Jesus Bless You All


Bernard Chiang

b3rn_art@yahoo.com

http://myreflectionstory.blogspot.com

1 April 2009

Monday, March 23, 2009

Great Joy

SUKACITA TERBESAR

DALAM KEHIDUPAN ORANG PERCAYA

FILIPI 3 : 1 - 11

I. Pendahuluan

Surat Filipi merupakan surat yang sangat luar biasa, yang mengajarkan kepada setiap jemaat Filipi maupun kepada pembaca pada masa kini, bahwa penderitaan bukanlah sebuah halangan untuk tetap bersukacita di dalam Tuhan. Hal ini bukanlah sebuah angan-angan, tetapi suatu realita yang dinyatakan melalui kehidupan Paulus. Paulus menulis surat Filipi pada masa-masa dia berada dalam tahanan Kerajaan Romawi,[1] namun tidak sekalipun kita membaca tentang Paulus yang kehilangan kesabaran, tetapi dia memandang masalah sulit yang dihadapinya itu sebagai suatu kesempatan untuk memperkenalkan Kristus. Mengenai Surat Filipi ini, Charles Swindoll mengatakan, “Surat ini ditulis oleh seorang pria yang telah mengenal dera dan kepedihan, yang hidup di bawah tahanan prajurit Romawi, namun surat ini menggemakan sukacita yang besar.”[2]

Namun menarik untuk dicermati secara seksama, maka akan dapat dilihat bahwa dalam pasal 3:1b-16, tidak ada kata sukacita di dalamnya, setelah sebelumnya, dalam tiap pasal Paulus menggunakan kata sukacita. Tetapi bagian yang akan dibahas ini diletakkan di antara kata sukacita (3:1a dan 4:1). Di satu sisi, Paulus menggunakan kata “cai,rete dalam bentuk imperative, sebagai suatu perintah kepada jemaat Filipi untuk bersukacita, namun di sisi lain Paulus memberikan alasan mendasar mengapa jemaat Filipi harus bersukacita. Dalam pasal 4:1, Paulus menggunakan kata “cara. yang memiliki makna jemaat itulah sukacita Paulus. Hal inilah yang menjadi dasar jemaat Filipi untuk bersukacita, karena mereka sendiri adalah sukacita bagi diri Paulus. Donald Guthrie mengatakan, “He regards them not as a jewels in a crown, but as the crown itself.”[3]

Namun di antara kedua hal ini, muncul satu perikop yang cukup menggetarkan, suatu tulisan yang melawan arus zaman, agar zaman kembali berjalan dalam lintasan yang benar. Suatu bagian yang dituliskan untuk menyadarkan orang-orang percaya untuk melihat di mana letak sukacita yang terbesar dan tertinggi dalam kehidupan manusia.

Oleh karena itu, penulis menulis paper ini sebagai suatu upaya untuk menggali secara eksposisi Filipi 3:1-11 untuk menemukan sukacita terbesar dalam kehidupan orang percaya dan menyertakan kesimpulan serta signifikansinya bagi orang percaya.

II. Eksposisi Filipi 3:1-16

Paulus membuka surat ini dengan sebuah perkataan “Akhirnya…” yang biasanya menunjukkan kepada suatu kesimpulan. Namun dalam bagian ini kata akhirnya, yang dalam bahasa Yunani digunakan kata To. loipo,n menurut John MacArthur Jr., “It is a word of transition, not conclusion, since half of Phillipians follows it.”[4] Selanjutnya, Paulus berkata “bersukacitalah.” Kata sukacita memiliki suatu pengertian yang penting dalam pemikiran Paulus, namun yang menjadi penekanan penting di sini adalah sukacita itu harus dilakukan di dalam Tuhan. Hal ini dimengerti karena hanya Tuhanlah sumber dari segala sukacita. Fee mengatakan, “The Lord who saves is both the basis and focus of rejoicing.”[5] Lebih lanjut dikatakan oleh William Hendriksen, bahwa hanya melalui kesatuan dengan Tuhan, dan hanya di dalam pribadi dan karya Kristus, bukan dalam hal lainnya di mana ada kontribusi usaha manusia, maka seseorang dapat bersukacita.[6]

Paulus melanjutkan isi suratnya dengan mengatakan bahwa “…menuliskan hal ini lagi kepadamu…” Mengenai hal ini, Swindoll mengatakan, “Perkataan ini merupakan suatu bentuk perhatian Paulus kepada jemaat di Filipi, supaya mereka dapat terus menerus menikmati kemerdekaan di dalam Kristus, maka Paulus pun tidak pernah bosan memperingati mereka.”[7]

Dalam ayat ke-2, Paulus menegaskan hal-hal apa saja yang menjadi peringatannya kepada jemaat Filipi. Ada 3 hal yang diperingatkan oleh rasul Paulus kepada jemaat Filipi, yaitu anjing-anjing, pekerja-pekerja yang jahat, dan penyunat-penyunat palsu. Dan untuk ketiga hal ini, Paulus menggunakan kata Ble,pete dalm bentuk imperative, present, aktif, yang berarti suatu perintah untuk berhati-hati, waspada, yang harus dikerjakan/dilakukan secara terus-menerus. Ralph Martin mengatakan, “Tense dari kata blepete memberikan suatu penekanan khusus, bahwa peringatan yang disanpaikan Paulus adalah sesuatu yang penting atau memiliki nilai urgensi yang tinggi.”[8]

Para ahli berpendapat bahwa yang menjadi lawan dari Paulus adalah orang-orang Yahudi yang mencoba mempengaruhi jemaat Filipi dengan segala kehebatan dan tradisi Taurat mereka. Untuk orang-orang ini, Paulus menyebut mereka, pertama-tama sebagai anjing-anjing. Perkataan Paulus ini memiliki suatu pemaknaan yang mendalam, karena biasanya orang-orang Yahudi menyebut orang-orang kafir sebagai anjing. Hal ini dapat juga dilihat dari pengakuan perempuan Kanaan yang memohon kesembuhan kepada Yesus dalam Matius 15:21-28. Jadi, ketika Paulus menggunakan kata anjing-anjing kepada orang Yahudi, Paulus secara tidak langsung mengatakan bahwa orang-orang Yahudi itulah yang sebenarnya orang kafir. Moises Silva mengatakan, “Paul, therefore, is making a startling point: the great reversal brought in by Christ means that it is the Judaizers who must be regarded as Gentiles.”[9]

Kedua, Paulus menggunakan kata pekerja-pekerja jahat, dalam tujuan untuk menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi merasa mereka sedang melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, tetapi sebenarnya melakukan hal yang sebaliknya. Moises Silva mengatakan, “The phrase tou.j kakou.j evrga,taj does not merely indicate “people who do bad things or sinners”. The phrase is surely meant to refute the Judaizers’ claims that they were doing the works of the law.”[10] Gordon Fee mengatakan, “In trying to make Gentiles submit to Torah observance, Judaizers do not work “righteousness” at all but evil, just as those in the Pslater work iniquity because they have rejected God’s righteousness.”[11]

Ketiga, Paulus menggunakan kata-kata penyunat palsu.Bagi orang Yahudi, sunat merupakan suatu kebanggaan, karena sunat merupakan tanda perjanjian antara Abraham beserta keturunannya dengan Tuhan (Kej. 17:10). Sunat jugalah yang menjadikan mereka bagian dari umat Allah (Kel.12:48). Namun, Paulus mengatakan bahwa mereka adalah penyunat palsu. Menurut Silva, “the use of katatome wanna shows to us, that these Judaizers do not deserve to be called “the circumcision” but rather “the mutilation”.[12] John MacArthur berpendapat bahwa melalui perkataan ini, Paulus ini menekankan pentingnya sunat bukan hanya secara simbolis (fisik) tetapi juga harus merefleksikan hati yang sudah dibaharui, karena tanpa adanya transformasi dalam hati kita, maka sunat merupakan sesuatu yang sia-sia dan tidak memliki makna.[13]

Berangkat dari tiga hal ini, maka dalam ayat yang ke-3, Paulus mengeluarkan antitesis bagi para orang Yahudi. Pertama, Paulus mengatakan, “…kitalah orang-orang bersunat…” Sunat di sini digunakan kata peritomh, yang menunjukkan sunat yang benar. Dengan demikian, menurut John Hargreaves, dalam bagian ini, Paulus ingin mengatakan bahwa orang-orang Kristenlah, dan bukan orang Yahudi, yang melakukan praktek sunat dengan benar.[14] Hal ini sejalan dengan pengajaran dalam Perjanjian Lama, bahwa sunat yang benar tidak berbicara fisik, tetapi sunat yang benar berbicara sunat hati (Ul. 30:6).

Kedua, Paulus juga mengatakan, “…yang beribadah oleh Roh Allah…” Melalui perkataan ini, Paulus mengidentifikasikan umat Allah sebagai orang-orang yang menyembah di dalam Roh Allah. Moises Silva mengatakan, “Whatever the differences between Pauline and Johannine theology, one can hardly deny that this phrase is conceptually equivalent to John 4:23-24 (true worshippers worship God “in the Spirit and in truth”).[15] Lebih lanjut Silva mengatakan, “The point being made that true worship is inner rather than external.”[16]

Oleh karena itu, umat Allah bermegah di dalam Kristus dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Dalam bagian ini, Paulus mengkontraskan antara kata kaucw,menoi dan kata pepoiqo,tej. Melalui hal ini, Paulus mau memberikan konsep bermegah yang benar, dimana seseorang harus menempatkan kepercayaannya di dalam Kristus, karena hanya Kristus satu-satunya dasar bagi manusia untuk bermegah dan hal ini membawa implikasi bahwa Kristus satu-satunya sumber sukacita yang dimiliki oleh orang percaya. Moises Silva mengatakan, “If Jesus Christ is our grounds for confidence, He is therefore also our grounds for joyful pride and for exultant boasting.”[17] Bahkan secara tegas, Charles Swindoll mengatakan, “Mereka yang percaya akan hal-hal lahiriah, telah kehilangan arti keselamatan yang sesungguhnya.”[18]

Oleh karena itu, dalam ayat 4, Paulus mulai menjelaskan kepada Jemaat Filipi mengapa dia tidak menaruh percayanya pada hal-hal lahiriah. Paulus membuka argumentasinya mengenai hal ini dengan mengatakan bahwa dia jauh melebihi para guru palsu dalam hal-hal lahiriah, yang dijelaskannya mengenai kebanggaan lahiriah mulai dari ayat 5-6.

1. Disunat pada hari kedelapan. Hal ini merupakan tradisi yang penting dalam Yudaisme. Disunat pada hari yang kedelapan merupakan perintah Tuhan kepada Abraham, sebagai bagian dari “meterai” perjanjian Tuhan kepada Abraham. Jadi dapat dikatakan, secara tradisi keluarga Paulus sangat memegang teguh atau pelaksana yang baik dari hukum Taurat. Menurut Ralph Martin, hal ini menunjukkan bahwa dia adalah orang Yahudi yang sejati.[19]

2. Dari bangsa Israel. Hal ini menegaskan jati dirinya sebagai bagian dari umat Allah bukan dari kaum kafir.

3. Dari suku Benyamin. Dapat menjadi suku Benyamin merupakan suatu kebanggaan bagi orang Yahudi. Hal ini dikarenakan raja pertama Israel berasal dari suku Benyamin. Suku Benyamin juga adalah suku yang diberkati oleh Musa sebagai “…Kekasih Tuhan…” Homer Kent mengatakan, “It is often averred that Paul mentions his connection with Benjamin because that tribe was especially honored among the tribes of Israel.”[20]

4. Orang Ibrani Asli. John MacArthur Jr. mengatakan, “The apostle’s claim to be a Hebrew of Hebrews is best understood as a declaration that as he grew to manhood Paul strictly mantained his family’s traditional Jewish heritage.”[21] Gordon Fee mengatakan, “Paul was in every way a “Hebrew, born of pure Hebrew stock.”[22]

5. Orang Farisi. Orang-orang Farisi merupakan orang-orang yang sangat taat kepada hukum Taurat, termasuk di dalamnya Perjanjian Lama, dan semua tradisi yang dimasukkan ke dalamnya. MacArthur mengatakan, “To become a Pharisee was to reach the highest level in devout, legalistic Judaism.”[23]

6. Penganiaya Jemaat. MacArthur Jr. mengatakan, “The Jewish viewed zeal as the supreme religious virtue…To be zealous is to love God and hate what offends Him.”[24]

7. Dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat. Menurut Gordon Fee, kata tak bercacat di sini menunjukkan, “Paul has no “blemishes” on his record as far as lawkeeping and concerned, which means thathe scrupulously adhered to the Pharisaic interpretation of the law, waith its finely honed regulations for sabbath observance, food laws and ritual cleanliness.”Hal ini semakin menegaskan bahwa kemegahan lahiriah yang dimiliki oleh Paulus jauh melampaui yang dimiliki oleh guru-guru palsu.

Namun demikian, dalam ayat 7 dan 8, Paulus mengatakan bahwa kemegahan lahiriah yang dimilikinya tidak apa-apanya dibandingkan pengenalannya[25] akan Kristus. Dalam menyatakan betapa mulianya Kristus dibandingkan hal-hal lahiriah, Paulus menggunakan kata rugi sebanyak dua kali yang diiringi peningkatan tekanan hal-hal lahiriah dari a[tina (whatever things) kepada pa,nta (all things) yang dianggapnya rugi, demi besarnya kemuliaan di dalam Kristus. Bahkan dalam ayat 8 juga bahwa semuanya itu adalah sampah. Menurut MacArthur, “The word skybala (rubbish) is a very strong word that could also be rendered “waste”, “dung”, “manure”, or even “excrement.”[26] Bagi Paulus, menurut Ralph Martin, “All confidence in the flesh is contemptuously cast aside and abhorred as dirty muck!”[27]

Dalam ayat 9, baru dapat dilihat tujuan Paulus, dengan menganggap segala sesuatu itu rugi adalah supaya dia berada dalam Kristus. Hal ini merupakan kesadaran yang dimilikinya, bahwa hanya di dalam Kristus ada kebenaran yang sejati. Kebenaran yang tidak berasal dari diri dan usaha manusia, tetapi kebenaran yang berasal Allah melalui iman kepada Kristus. Kebenaran yang membenarkan kita di hadapan Allah ketika Yesus datang kedua kalinya untuk menghakimi dunia ini.[28] Hal ini menjelaskan ayat 3, bahwa orang Kristen harus bermegah dalam Kristus. Gordon Fee mangatakan bahwa bagian ini memberikan suatu kesimpulan bahwa kita harus percaya dalam Kristus untuk keselamatan kita.[29] Swindoll mengatakan, “Sekali lagi kasih karunia Allah menyelamatkan kita.”[30]

Ayat 10 dan 11 menjelaskan, bahwa sebagai orang-orang yang telah menerima kebenaran Allah, maka tidak ada sukacita yang paling besar selain mengenal Dia yang melalui-Nya kita menerima kebenaran Allah. Mengenal Allah, bagi Paulus, merupakan tujuan tertinggi dalam hubungannya dengan Allah. Gordon Fee mengatakan, “In keeping with his Old Testament roots, knowing Christ is the ultimate goal of being in right relationship with God.”[31] Pengenalan terhadap Kristus meliputi tiga hal:

1. Kuasa kebangkitan Kristus. Kebangkitan-Nya merupakan penyataan kuasa Kristus. Kebangkitan-Nya juga menyatakan kuasa-Nya yang mutlak mengatasi dunia fisik dan dunia rohani (Kol.2:14-15; 1 Petrus 3:18-20). Menurut John MacArthur, Paulus mengalami kuasa kebangkitan Kristus dalam dua cara, (1)sebagai kuasa yang menyelamatkan, dan (2) sebagai kuasa yang menyucikannya.[32] Dalam hal ini, Gordon Fee menyimpulkan :

“Christ’s resurrection guaranteed his own, that he could throw himself into the present with a holy abandon, full of rejoicing and thanksgiving; and that not because he enjoyed suffering, but because of Christ’s Resurrestion had given him a unique perspective on present suffering, as well as an empowering presence wherebythe suffering transformed into intimate fellowship with Christ himself.”[33]

2. Persekutuan dalam penderitaan-Nya. Menurut John MacArthur, “The deepest moments of spiritual fellowship with the living Christ are at times of intense suffering; Suffering drives believers to Him.”[34] Gordon Fee melanjutkan, “Hence knowing Christ involves sharing in his sufferings-and is a cause for constant joy, not because suffering is enjoyable but because it is certain evidence of Paul’s intimate relationship with his Lord.”[35] Lebih lanjut Fee mengatakan, “The grounds for joy in the Lord lie with knowing him, as we participate n his sufferings while awaiting our glorious future.”[36]

3. Menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya. Gordon Fee mengatakan, “Christian life is cruciform in character; God’s people, even as they live presently through the power of Christ ‘s resurrection , are as their Lord forever marked by the cross.”[37]

Pengenalan Kristus dalam tiga hal dalam ayat 10 memiliki tujuan agar dia akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati (ayat 11). Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Paulus mengenai eskatologis. Di mana setiap orang percaya akan mengalami kebangkitan dan akan diberikan suatu tubuh yang baru (1 Kor. 15). Pengharapan ini bukan hanya milik Paulus, tetapi setiap orang percaya memiliki pengharapan seperti ini yang akan digenapi, ketika Kristus datang ke dunia untuk menghakimi dunia ini. Gordon Fee mengatakan, “Nonetheless, such a futureprize is the one certain reality of present existence and is thus worth bending every effort to realize, which is what the end of the story is all about.”[38]

III. Kesimpulan

Setelah pembahasan di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. Pertama, sukacita orang-orang percaya tidak terletak kepada hal-hal yang lahiriah, tetapi sukacita itu terletak di dalam Kristus, yang melalui-Nya kita menerima kebenaran Allah yang membenarkan kita di hadapan Allah.

Hal yang kedua adalah, sebagai orang-orang yang telah menerima anugerah keselamatan, maka tidak ada sukacita yang lebih besar selain mengenal Yesus yang adalah Juruselamat bagi umat manusia yang berdosa yang membutuhkan keselamatan. Ketiga, sukacita itu akan menjadi sempurna, ketika kita menerima penggenapannya saat Kristus datang yang kedua kalinya di dalam dunia, di mana kita akan mengalami kebangkitan di dalam Kristus dan menerima tubuh yang baru.

Bagi kita orang percaya, ketiga kesimpulan di atas menegaskan kepada kita, bahwa hanya Allah satu-satunya sumber sukacita dalam kehidupan manusia. Hanya di dalam Allah, manusia menerima dan memiliki sukacita sejati yang melampaui segala penderitaan dan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap orang percaya. Dan hanya di dalam Allah, bukan di dalam hal-hal lahiriah, sukacita yang kita miliki akan disempurnakan.

DAFTAR PUSTAKA

Fee, Gordon D. Philippians. Downers Grooves, IL: IVP. 1999.

Gaeblin, Frank E. ed. Expolsitors Bible Commentary. Grand Rapids, MI: Zondervan. 1978.

Guthrie, Donald. Exploring God’s Word: A Guide To Ephesians, Philippians, And Colossians. Grand Rapids, MI: Eerdmans. 1984.

Hendriksen, William. Philippians. Edinburgh: The Banner of Truth Trust. 1962.

Hargreaves, John. A Guide To Philippians. London: SPCK. 1983.

MacArthur Jr., John. Philippians. Chicago: Moody Press. 2001.

Martin, Ralph P. The Epistle of Paul to The Philippians. London: Tyndale Press. 1969.

Silva, Moises. Philippians. Chicago: Moody Press. 1988.

Swindoll, Charles R. Tertawa Lagi. Batam: Gospel Press. 2001.



[1] Pembahasan mengenai tempat penulisan Surat Filipi masih mengalami perdebatan sampai masa kini. Ada tiga teori yang berkembang mengenai hal ini: Pertama, penulisan dilakukan pada saat Paulus dipenjarakan di penjara Kaisarea, kedua, penulisan dilakukan ketika Paulus dipenjarakan di kota Roma, dan yang ketiga, penulisan dilakukan pada saat Paulus berada di kota Efesus. Untuk pembahasan hal ini, dapat dilihat dalam, Homer A. Kent, Jr., “Phillipians”, dalam Frank E Gaeblin, ed., Expolsitors Bible Commentary (Grand Rapids, MI: Zondervan, 1978), 11:97-8. Bandingkan penjelasan yang dikemukakan juga oleh Gordon D. Fee, Phillipians (Downers Grooves, IL: IVP, 1999), 33-5. Penulis lebih menyetujui pandangan tradisional yang mengatakan bahwa Surat Filipi ini ditulis dalam masa penahanan rumah Romawi, sekita tahun 60-62 AD.

[2] Charles R. Swindoll, Tertawa Lagi (Batam: Gospel Press, 2001), 33.

[3] Donald Guthrie, Exploring God’s Word: A Guide To Ephesians, Phillipians, And Colossians (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1984), 153.

[4] John MacArthur Jr., Phillipians (Chicago: Moody Press, 2001), 215. Hal senada juga dikatakan oleh Ralph P. Martin, “The phrase finally, to loipon, would lead us to expect the conclusion of the letter; but this is not the case, and the apostle has occasion to renew the promise of a conclusion in 4:8, after a long digression. Ralph P. Martin, The Epistle of Paul to The Phillipians (London: Tyndale Press, 1969), 134. Band. Juga Moises Silva, Phillipians (Chicago: Moody Press, 1988), 167. Namun demikian Gordon Fee berpendapat agak berbeda dari tokoh-tokoh tersebut. Fee mengatakan, “to loipon in 3:1 means “as for what remains to be said” thus introducing a concluding section of the letter (1 Tes. 4:1; 2 Tes. 3:1), not a conclusion per se.” Fee, Phillipians, 129.

[5] Fee, Phillipians, 131.

[6] William Hendriksen, Phillipians (Edinburgh: The Banner of Truth Trust, 1962), 147.

[7] Swindoll, Tertawa, 236. Namun demikian, dalam penjelasan yang dikemukakan oleh Ralph Martin, menunjukkan adanya perdebatan mengenai hal ini, setidaknya ada 4 pandangan. Untuk penjelasan lebih lengkap, baca Martin, The Epistle, 135-6.

[8] Martin, The Epistles, 136.

[9] Silva, Phillipians, 169.

[10] Ibid.

[11] Fee, Phillipians, 133.

[12] Silva, Phillipians, 169. Lebih lanjut Silva mengatakan, “seharusnya Paulus dapat menggunakan kata peritome yang lebih mengacu kepada sunat,”

[13] MacArthur, Phillipians, 220.

[14] John Hargreaves, A Guide To Phillipians (London: SPCK, 1983), 84.

[15] Silva, Phillipians, 170.

[16] Ibid.

[17] Ibid., 180.

[18] Swindoll, Tertawa, 239.

[19] Martin, Phillipians, 141.

[20] Kent Jr., Philippians, 139-40.

[21] MacArthur Jr., Philippians, 230.

[22] Fee, Philippians, 139.

[23] MacArthur Jr., Philippians, 231. Gordon Fee mengatakan, “The reason for mentioning this featureof his history is at least threefold: (1) It defines his relationship to the law in a very specific way, as belonging to the Jewish sect devoted to its study and codification. (2) Any Jewish Christians who came to Philippi to promotr circumcision on the part of Gentiles would most likely also belong to this sect (cf. Mat. 23:5 and Kis. 15:5). (3) It gives the framework for understanding the next two items. Fee, Philippians, 139.

[24] MacArthur Jr., 231.

[25] Kata pengenalan digunakan kata gnosis yang dalam budaya Yunani, gnosis dapat menggambarkan hubungan yang tersembunyi, kultus, dan mitik dengan sesuatu yang ilahi. Namun kata gnosis juga merupakan sinonim dari kata Ibrani yadha yang memiliki makna pengetahuan yang intim, bahkan kesatuan atau ikatan dalam kasih. MacArthur, Philippians, 235.

[26] MacArthur Jr., 236.

[27] Martin, Philippians, 147.

[28] Hal ini berkaitan bahwa pernyataan “…di dalam Dia…” memiliki aspek eskatologis yang mengacu kepada kedatangan Yesus yang kedua untuk penghakiman. Ralph Martin, Philippians, 148. Band. Kent Jr., Philippians, 141.

[29] Fee, 146.

[30] Swindoll, Tertawa, 239.

[31] Fee, 147.

[32] MacArthur Jr., 238-39.

[33] Fee, 148-49.

[34] MacArthur, 239.

[35] Fee, 149.

[36] Fee, 149.

[37] Ibid., 150

[38] Ibid., 151.

Greetings

Hi, i've just make a new blogs. I made this blog to post my reflections story. I feel it was a wrong thing if i dont share to everyone about what i think and what i feel about life and God. I wish that you be bless after you visit this site.

To God only wise, be glory through Jesus Christ forever. Amen
Romans 16:27
Jesus bless you all

LIVE TO WORSHIP

Live To Worship God

(A Reflections of John 4 : 1 – 42)

Beberapa hari yang lalu aku pergi ke dua rumah duka menghadiri kebaktian penutupan peti. Tatkala aku menyaksikan semua itu, pikiranku mulai melayang dan mulai mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang singkat namun sulit untuk mendapatkan sebuah jawaban. Ketika aku melihat jenazah yang terbujur kaku di dalam peti mati, aku menyadari betapa hidup itu begitu singkat, hidup itu begitu sementara, dan hidup itu begitu rapuh. Namun celakanya, tidak ada yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kesementaraan hidup dan mempertahankan kekuatan hidup yang rapuh.

Aku menyaksikan banyak orang mengejar kekayaan, semata untuk memperoleh banyak plester agar hidup yang rapuh itu tidak hancur berantakan. Banyak orang beranggapan bahwa materi yang banyak dapat memperpanjang kesementaraan hidup. Oleh karena itu, di satu sisi, tidaklah mengherankan banyak orang pada akhirnya menjadi seorang workaholic (gila kerja), yang bekerja dari pagi sampai pagi lagi. Namun di sisi lainnya, tidak mengherankan juga bahwa banyak orang akhirnya kehilangan akal sehat, stress, depresi, ataupun pada akhirnya menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa karena kehilangan kekayaan dan kekuasaan mereka.

Inilah realita dunia yang aku lihat dan aku saksikan setiap harinya. Bahkan tidak jarang, ada orang-orang yang datang ke tempat ibadah ataupun tempat pemujaan dengan motivasi untuk mencari selamat, kenyamanan, kekayaan ataupun berkat. Terkadang aku tertawa melihat hal ini. Bukankah ketika kita datang ke tempat ibadah, yang seharusnya disenangkan adalah Tuhan bukan manusia??? Ahhh....tapi itulah kenyataannya, banyak manusia datang beribadah untuk menuntut kepuasan dan kenyamanan bagi diri mereka sendiri.

Tetapi terkadang aku juga menangisi ”kebodohan” manusia, termasuk ”kebodohan”ku. Sebuah kebodohan yang aku sadari ketika aku hadir di rumah duka, bahwa sebenarnya tidak ada satu hal pun yang dapat dilakukan oleh manusia untuk dapat mempertahankan hidupnya yang rapuh dan memperpanjang hidup mereka yang sementara. Namun entah kenapa, banyak manusia, sekalipun menyadari hal ini, terus menerus melakukan kebodohan itu.

Di tengah perenunganku di rumah duka itu, aku mulai bertanya, ”Jika hidup itu begitu rapuh dan hidup itu begitu sementara, untuk apa manusia hidup?? Bukankah itu sangat menyakitkan? Bukankah itu sangat menyusahkan? Bukankah pada akhirnya, sebuah kehilangan hanya akan menyisakan segores kepedihan??? Kepedihan yang membuat kita tidak pernah berhenti meneteskan air mata dan meninggalkan duka yang mendalam.

Namun di tengah pertanyaan-pertanyaanku, tiba-tiba sepercik ketakutan mulai hinggap dalam diriku. Suatu ketakutan yang membuat aku gemetar, ketakutan yang membuat aku kehilangan keseimbangan dalam hidupku. Ketakutan yang muncul ketika aku menyadari, bahwa jika aku tidak bisa menjamin hidupku yang sementara dan rapuh untuk tetap bertahan, ”Siapa yang dapat menjaminnya?” Aku mulai berpikir keras dan pikiranku mulai menerawang mencari jawaban dari pertanyaanku.

Di saat yang bersamaan, terlintas di pikiranku kisah Perempuan Samaria dalam Yohanes 4:1-42. Aku mencoba mengingat-ingat kembali kisah mengenai percakapan Tuhan Yesus dan Perempuan Samaria. Sebuah percakapan yang membawa suatu perubahan dalam hidup perempuan tersebut dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Kisah itu dimulai pada waktu udara begitu panas dan matahari bersinar begitu terik. Tuhan Yesus bersama para murid beristirahat di dekat sebuah sumur, setelah perjalanan yang melelahkan. Tidak lama kemudian, para murid pergi membeli makanan untuk makan siang mereka, alhasil Yesus hanya sendirian di dekat sumur itu untuk beristirahat.

Tetapi sesaat kemudian datanglah seorang perempuan Samaria ke sumur itu untuk mengambil air. Sesuatu peristiwa yang tidak pernah diduga oleh perempuan itu, jika dia akan bertemu dengan seorang pria Yahudi yang sedang kehausan dan meminta minum kepadanya. Sesuatu yang tidak lazim pada masa itu, jika orang Samaria memberikan pertolongan kepada orang Yahudi. Karena situasi pada waktu itu, Yahudi bermusuhan dengan Samaria. Sehingga perempuan ini cukup terkejut dengan permintaan Yesus, untuk memberi-Nya minum.

Namun bukannya menenangkan keterkejutan perempuan ini, sebaliknya Yesus membuat perempuan ini bertambah bingung, ketika Dia menjelaskan bahwa diri-Nya akan memberikan ”air hidup”, air yang akan memberikannya kelegaan dari dahaga sampai selamanya. Kebingungan ini nampak dalam pemahamannya tentang air hidup. Perempuan ini masih berpikir tentang kehausan secara jasmani. Mungkin pikirnya, ”Wah siapa yang tidak mau air seperti itu, yang sekali meminumnya, tidak perlu minum lagi karena tidak akan pernah haus lagi.” Oleh karena itu, tidaklah mengherankan perempuan ini langsung memintanya kepada Yesus, agar dia bisa cepat-cepat lepas dari segala rasa dahaga yang seringkali menyiksa.

Ketika aku membaca kisah perempuan Samaria sampai kepada bagian ini (v. 1-18), aku mulai melihat keadaan yang ada di sekitarku. Dan yang mengherankan, keadaan di sekitarku tidak jauh berbeda dengan kondisi perempuan Samaria ini. Terkadang hidup kita seperti berada di jam 12 siang, begitu panas dengan persaingan, begitu panas dengan segala masalah-masalah hidup, keluarga, pekerjaan, ataupun sekolah, yang seringkali membuat kita tersiksa oleh dahaga karena kelelahan dan kejenuhan. Di saat bersamaan kita datang ke sumur itu sebetulnya bukan hanya untuk minum tetapi lebih daripada itu, kita mencoba mempertahankan hidup kita yang rapuh dan sementara. Itu juga yang dilakukan oleh perempuan Samaria ketika dia mengambil air pada waktu siang hari. Sesuatu yang tidak lazim untuk dilakukan pada masa itu (Karena biasanya para perempuan mengambil air di waktu pagi hari). Jelas sekali, perempuan Samaria ini rela mengambil air di siang hari bukan hanya untuk menyegarkan dirinya dari rasa dahaga, tetapi juga untuk mempertahankan hidupnya yang rapuh, agar tidak semakin hancur oleh ”gosip” masyarakat disekitarnya.

Dan ketika Tuhan Yesus menawarkan air hidup, setiap kita berlomba-lomba untuk mandapatkan penawaran itu. Tetapi sayangnya, seringkali mengejarnya dengan pemahaman yang salah, sehingga tidak jarang kita kecewa. Kita menganggap ”air hidup” itu adalah berkat secara jasmani, yang berupa kekayaan, popularitas, kekuasaan, kenyamanan, yang semuanya dapat membuat hidup kita bebas dari semua problema kehidupan. Kita datang ke gereja untuk mendapatkan itu semua, semata agar hidup kita yang rapuh menjadi kuat, tanpa menyadari bahwa ”Air Hidup” itu adalah Tuhan Yesus itu sendiri. Inilah fenomena yang banyak terjadi di gereja manapun. Banyak orang Kristen datang ke gereja bukan lagi untuk mencari Tuhan di dalamnya, tetapi mereka datang untuk mencari berkat-Nya dan mereka juga datang untuk mencari kepuasan bagi diri mereka sendiri.

Ketika aku memikirkan hal ini, aku baru menyadari, seringkali kita menjaminkan hidup kita pada sesuatu yang rapuh, sehingga tidak jarang kita marah dan kecewa kepada Tuhan. Bahkan celakanya kita tidak pernah lagi mengalami berkat Tuhan. Kita berkata, ”Aku bergantung pada Tuhan!” tetapi kenyataannya berbicara lain, ”Aku bergantung pada berkat Tuhan yang aku anggap kekayaan, kekuasaan, kenyamanan.” Bukankah begitu kawan???

Hanya Yesus yang dapat memberikan jaminan dalam hidup kita, bukan berkat-Nya. Oleh karena itu, seharusnya kita bergantung kepada-Nya bukan berkat-Nya. Dasar inilah yang membuat aku menyadari satu hal penting, yaitu bukan masalah untuk APA aku hidup, sementara hidup ini begitu rapuh dan sementara, tetapi yang terlebih utama adalah untuk ”SIAPA” aku hidup? Pertanyaan ini begitu mengusik pikiran dan hatiku, sehingga aku mulai kembali membaca kelanjutan kisah Perempuan Samaria ini (v. 19-42). Semakin aku membaca, semakin aku merasakan betapa kekristenan pada masa kini, tidak ada bedanya dengan kondisi perempuan Samaria ini.

Pelayanan dan penyembahan kita terkadang terlalu disibukkan oleh masalah bentuk, gaya, tradisi, dan masalah sekunder lainnya, yang membuat kita mengabaikan masalah primer, yaitu ”kehadiran” Tuhan dalam pelayanan dan penyembahan kita. Hal ini bisa terjadi, karena ibadah kita tidak lebih sebagai rutinitas ataupun tradisi turun temurun. Gereja bukan lagi tempat kita bertemu Tuhan tetapi sebagai tempat bertemu dengan teman ngobrol. Gereja tidak lagi menjadi tempat yang menyediakan pengampunan, tetapi menjadi tempat di mana orang yang masuk di dalamnya keluar dengan akar kepahitan. Hmmm...terlalu keras??? Aku pikir tidak, karena mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa inilah realita yang ada di dalam banyak gereja saat ini. Perempuan juga mengatakan bahwa sejak zaman NENEK MOYANG....mereka beribadah di tempat mereka bukan di Yerusalem, karena orang Yahudi menutup pintu ”rumah Ibadah” bagi orang Samaria.

Namun, aku terkejut ketika membaca apa yang dikatakan Yesus kepada Perempuan Samaria bahwa saatnya akan tiba bahwa penyembahan tidak lagi dilakukan di gunung mereka ataupun di Yerusalem... Wah apalagi ini???? Radikal???? Tuhan Yesus melanjutkan penjelasan-Nya, bahwa saatnya akan datang dan sekarang sudah tiba sekarang, penyembahan yang benar adalah menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Aku pikir, hal ini bukanlah sesuatu yang radikal, tetapi Tuhan Yesus hanya ingin mengingatkan dengan tegas, sesuatu yang sudah lama dilupakan, yaitu ”kehadiran” Allah sebagai pusat penyembahan.

Ketika sampai pada titik ini, aku kembali berpikir keras, ”Apa artinya roh dan kebenaran?” Dan semakin aku merenung, aku mendapati bahwa roh dan kebenaran berbicara mengenai ”inner dan outer life.” Ketika berbicara mengenai roh, hal itu menjelaskan mengenai ”inner life” kita, sedangkan kebenaran itu berbicara mengenai ”outer life” kita. Jika penyembahan berbicara mengenai ”menghadirkan” Allah dalam hidup kita, maka menyembah dalam roh berarti menghadirkan Tuhan dalam kehidupan pribadi kita. Dan hal ini menyangkut pikiran kita, sikap hati kita. Sehingga seperti Paulus katakan dalam Galatia 2:20, ”namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup dalamku.”

Menyembah dalam kebenaran berarti ”menghadirkan” Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Dan hal ini menyangkut tutur kata kita, tingkah laku, gaya hidup kita di mana pun kita berada, sehingga setiap orang bisa melihat Tuhan ”hadir” dalam hidup kita. Hal ini jugalah yang terjadi dalam kehidupan Perempuan Samaria. Hidupnya mengalami transformasi, ketika dia menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Dia menghadirkan Tuhan dalam inner dan outer life-nya.

Di akhir perenunganku, aku mulai menyadari, hidup memang rapuh dan hidup memang sementara, tidak akan ada yang dapat mengubah kenyataan itu. Kita tidak tahu, kapan giliran kita yang mengisi peti mati itu? Kita juga tidak pernah tahu, kapan kerapuhan dan kesementaraan hidup menempatkan kita di rumah duka? Tetapi aku tahu, Tuhan menjamin hidupku. Kerapuhanku akan digantikan dengan kesempurnaan, dan kesementaraanku akan digantikan dengan kekekalan.

Sesaat sebelum aku pergi meninggalkan rumah duka, sekali lagi aku mengintrospeksi hidupku, ”Sudahkah Tuhan Yesus menjadi pusat penyembahanku?” Hidup memang rapuh dan sementara, tetapi aku tidak mau tenggelam dalam kenyataan itu. Aku mau hidupku bermakna di dalam kerapuhan dan kesementaraan hidup. Dan aku tahu, hidup akan bermakna ketika kita ”Live to Worship God.”

Jesus bless you all.

Bernard Chiang

b3rn_art@yahoo.com

18 Maret 2009