Live To Worship God
(A Reflections of John 4 : 1 – 42)
Beberapa hari yang lalu aku pergi ke dua rumah duka menghadiri kebaktian penutupan peti. Tatkala aku menyaksikan semua itu, pikiranku mulai melayang dan mulai mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang singkat namun sulit untuk mendapatkan sebuah jawaban. Ketika aku melihat jenazah yang terbujur kaku di dalam peti mati, aku menyadari betapa hidup itu begitu singkat, hidup itu begitu sementara, dan hidup itu begitu rapuh. Namun celakanya, tidak ada yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kesementaraan hidup dan mempertahankan kekuatan hidup yang rapuh.
Aku menyaksikan banyak orang mengejar kekayaan, semata untuk memperoleh banyak plester agar hidup yang rapuh itu tidak hancur berantakan. Banyak orang beranggapan bahwa materi yang banyak dapat memperpanjang kesementaraan hidup. Oleh karena itu, di satu sisi, tidaklah mengherankan banyak orang pada akhirnya menjadi seorang workaholic (gila kerja), yang bekerja dari pagi sampai pagi lagi. Namun di sisi lainnya, tidak mengherankan juga bahwa banyak orang akhirnya kehilangan akal sehat, stress, depresi, ataupun pada akhirnya menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa karena kehilangan kekayaan dan kekuasaan mereka.
Inilah realita dunia yang aku lihat dan aku saksikan setiap harinya. Bahkan tidak jarang, ada orang-orang yang datang ke tempat ibadah ataupun tempat pemujaan dengan motivasi untuk mencari selamat, kenyamanan, kekayaan ataupun berkat. Terkadang aku tertawa melihat hal ini. Bukankah ketika kita datang ke tempat ibadah, yang seharusnya disenangkan adalah Tuhan bukan manusia??? Ahhh....tapi itulah kenyataannya, banyak manusia datang beribadah untuk menuntut kepuasan dan kenyamanan bagi diri mereka sendiri.
Tetapi terkadang aku juga menangisi ”kebodohan” manusia, termasuk ”kebodohan”ku. Sebuah kebodohan yang aku sadari ketika aku hadir di rumah duka, bahwa sebenarnya tidak ada satu hal pun yang dapat dilakukan oleh manusia untuk dapat mempertahankan hidupnya yang rapuh dan memperpanjang hidup mereka yang sementara. Namun entah kenapa, banyak manusia, sekalipun menyadari hal ini, terus menerus melakukan kebodohan itu.
Di tengah perenunganku di rumah duka itu, aku mulai bertanya, ”Jika hidup itu begitu rapuh dan hidup itu begitu sementara, untuk apa manusia hidup?? Bukankah itu sangat menyakitkan? Bukankah itu sangat menyusahkan? Bukankah pada akhirnya, sebuah kehilangan hanya akan menyisakan segores kepedihan??? Kepedihan yang membuat kita tidak pernah berhenti meneteskan air mata dan meninggalkan duka yang mendalam.
Namun di tengah pertanyaan-pertanyaanku, tiba-tiba sepercik ketakutan mulai hinggap dalam diriku. Suatu ketakutan yang membuat aku gemetar, ketakutan yang membuat aku kehilangan keseimbangan dalam hidupku. Ketakutan yang muncul ketika aku menyadari, bahwa jika aku tidak bisa menjamin hidupku yang sementara dan rapuh untuk tetap bertahan, ”Siapa yang dapat menjaminnya?” Aku mulai berpikir keras dan pikiranku mulai menerawang mencari jawaban dari pertanyaanku.
Di saat yang bersamaan, terlintas di pikiranku kisah Perempuan Samaria dalam Yohanes 4:1-42. Aku mencoba mengingat-ingat kembali kisah mengenai percakapan Tuhan Yesus dan Perempuan Samaria. Sebuah percakapan yang membawa suatu perubahan dalam hidup perempuan tersebut dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Kisah itu dimulai pada waktu udara begitu panas dan matahari bersinar begitu terik. Tuhan Yesus bersama para murid beristirahat di dekat sebuah sumur, setelah perjalanan yang melelahkan. Tidak lama kemudian, para murid pergi membeli makanan untuk makan siang mereka, alhasil Yesus hanya sendirian di dekat sumur itu untuk beristirahat.
Tetapi sesaat kemudian datanglah seorang perempuan Samaria ke sumur itu untuk mengambil air. Sesuatu peristiwa yang tidak pernah diduga oleh perempuan itu, jika dia akan bertemu dengan seorang pria Yahudi yang sedang kehausan dan meminta minum kepadanya. Sesuatu yang tidak lazim pada masa itu, jika orang Samaria memberikan pertolongan kepada orang Yahudi. Karena situasi pada waktu itu, Yahudi bermusuhan dengan Samaria. Sehingga perempuan ini cukup terkejut dengan permintaan Yesus, untuk memberi-Nya minum.
Namun bukannya menenangkan keterkejutan perempuan ini, sebaliknya Yesus membuat perempuan ini bertambah bingung, ketika Dia menjelaskan bahwa diri-Nya akan memberikan ”air hidup”, air yang akan memberikannya kelegaan dari dahaga sampai selamanya. Kebingungan ini nampak dalam pemahamannya tentang air hidup. Perempuan ini masih berpikir tentang kehausan secara jasmani. Mungkin pikirnya, ”Wah siapa yang tidak mau air seperti itu, yang sekali meminumnya, tidak perlu minum lagi karena tidak akan pernah haus lagi.” Oleh karena itu, tidaklah mengherankan perempuan ini langsung memintanya kepada Yesus, agar dia bisa cepat-cepat lepas dari segala rasa dahaga yang seringkali menyiksa.
Ketika aku membaca kisah perempuan Samaria sampai kepada bagian ini (v. 1-18), aku mulai melihat keadaan yang ada di sekitarku. Dan yang mengherankan, keadaan di sekitarku tidak jauh berbeda dengan kondisi perempuan Samaria ini. Terkadang hidup kita seperti berada di jam 12 siang, begitu panas dengan persaingan, begitu panas dengan segala masalah-masalah hidup, keluarga, pekerjaan, ataupun sekolah, yang seringkali membuat kita tersiksa oleh dahaga karena kelelahan dan kejenuhan. Di saat bersamaan kita datang ke sumur itu sebetulnya bukan hanya untuk minum tetapi lebih daripada itu, kita mencoba mempertahankan hidup kita yang rapuh dan sementara. Itu juga yang dilakukan oleh perempuan Samaria ketika dia mengambil air pada waktu siang hari. Sesuatu yang tidak lazim untuk dilakukan pada masa itu (Karena biasanya para perempuan mengambil air di waktu pagi hari). Jelas sekali, perempuan Samaria ini rela mengambil air di siang hari bukan hanya untuk menyegarkan dirinya dari rasa dahaga, tetapi juga untuk mempertahankan hidupnya yang rapuh, agar tidak semakin hancur oleh ”gosip” masyarakat disekitarnya.
Dan ketika Tuhan Yesus menawarkan air hidup, setiap kita berlomba-lomba untuk mandapatkan penawaran itu. Tetapi sayangnya, seringkali mengejarnya dengan pemahaman yang salah, sehingga tidak jarang kita kecewa. Kita menganggap ”air hidup” itu adalah berkat secara jasmani, yang berupa kekayaan, popularitas, kekuasaan, kenyamanan, yang semuanya dapat membuat hidup kita bebas dari semua problema kehidupan. Kita datang ke gereja untuk mendapatkan itu semua, semata agar hidup kita yang rapuh menjadi kuat, tanpa menyadari bahwa ”Air Hidup” itu adalah Tuhan Yesus itu sendiri. Inilah fenomena yang banyak terjadi di gereja manapun. Banyak orang Kristen datang ke gereja bukan lagi untuk mencari Tuhan di dalamnya, tetapi mereka datang untuk mencari berkat-Nya dan mereka juga datang untuk mencari kepuasan bagi diri mereka sendiri.
Ketika aku memikirkan hal ini, aku baru menyadari, seringkali kita menjaminkan hidup kita pada sesuatu yang rapuh, sehingga tidak jarang kita marah dan kecewa kepada Tuhan. Bahkan celakanya kita tidak pernah lagi mengalami berkat Tuhan. Kita berkata, ”Aku bergantung pada Tuhan!” tetapi kenyataannya berbicara lain, ”Aku bergantung pada berkat Tuhan yang aku anggap kekayaan, kekuasaan, kenyamanan.” Bukankah begitu kawan???
Hanya Yesus yang dapat memberikan jaminan dalam hidup kita, bukan berkat-Nya. Oleh karena itu, seharusnya kita bergantung kepada-Nya bukan berkat-Nya. Dasar inilah yang membuat aku menyadari satu hal penting, yaitu bukan masalah untuk APA aku hidup, sementara hidup ini begitu rapuh dan sementara, tetapi yang terlebih utama adalah untuk ”SIAPA” aku hidup? Pertanyaan ini begitu mengusik pikiran dan hatiku, sehingga aku mulai kembali membaca kelanjutan kisah Perempuan Samaria ini (v. 19-42). Semakin aku membaca, semakin aku merasakan betapa kekristenan pada masa kini, tidak ada bedanya dengan kondisi perempuan Samaria ini.
Pelayanan dan penyembahan kita terkadang terlalu disibukkan oleh masalah bentuk, gaya, tradisi, dan masalah sekunder lainnya, yang membuat kita mengabaikan masalah primer, yaitu ”kehadiran” Tuhan dalam pelayanan dan penyembahan kita. Hal ini bisa terjadi, karena ibadah kita tidak lebih sebagai rutinitas ataupun tradisi turun temurun. Gereja bukan lagi tempat kita bertemu Tuhan tetapi sebagai tempat bertemu dengan teman ngobrol. Gereja tidak lagi menjadi tempat yang menyediakan pengampunan, tetapi menjadi tempat di mana orang yang masuk di dalamnya keluar dengan akar kepahitan. Hmmm...terlalu keras??? Aku pikir tidak, karena mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa inilah realita yang ada di dalam banyak gereja saat ini. Perempuan juga mengatakan bahwa sejak zaman NENEK MOYANG....mereka beribadah di tempat mereka bukan di Yerusalem, karena orang Yahudi menutup pintu ”rumah Ibadah” bagi orang Samaria.
Namun, aku terkejut ketika membaca apa yang dikatakan Yesus kepada Perempuan Samaria bahwa saatnya akan tiba bahwa penyembahan tidak lagi dilakukan di gunung mereka ataupun di Yerusalem... Wah apalagi ini???? Radikal???? Tuhan Yesus melanjutkan penjelasan-Nya, bahwa saatnya akan datang dan sekarang sudah tiba sekarang, penyembahan yang benar adalah menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Aku pikir, hal ini bukanlah sesuatu yang radikal, tetapi Tuhan Yesus hanya ingin mengingatkan dengan tegas, sesuatu yang sudah lama dilupakan, yaitu ”kehadiran” Allah sebagai pusat penyembahan.
Ketika sampai pada titik ini, aku kembali berpikir keras, ”Apa artinya roh dan kebenaran?” Dan semakin aku merenung, aku mendapati bahwa roh dan kebenaran berbicara mengenai ”inner dan outer life.” Ketika berbicara mengenai roh, hal itu menjelaskan mengenai ”inner life” kita, sedangkan kebenaran itu berbicara mengenai ”outer life” kita. Jika penyembahan berbicara mengenai ”menghadirkan” Allah dalam hidup kita, maka menyembah dalam roh berarti menghadirkan Tuhan dalam kehidupan pribadi kita. Dan hal ini menyangkut pikiran kita, sikap hati kita. Sehingga seperti Paulus katakan dalam Galatia 2:20, ”namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup dalamku.”
Menyembah dalam kebenaran berarti ”menghadirkan” Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Dan hal ini menyangkut tutur kata kita, tingkah laku, gaya hidup kita di mana pun kita berada, sehingga setiap orang bisa melihat Tuhan ”hadir” dalam hidup kita. Hal ini jugalah yang terjadi dalam kehidupan Perempuan Samaria. Hidupnya mengalami transformasi, ketika dia menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Dia menghadirkan Tuhan dalam inner dan outer life-nya.
Di akhir perenunganku, aku mulai menyadari, hidup memang rapuh dan hidup memang sementara, tidak akan ada yang dapat mengubah kenyataan itu. Kita tidak tahu, kapan giliran kita yang mengisi peti mati itu? Kita juga tidak pernah tahu, kapan kerapuhan dan kesementaraan hidup menempatkan kita di rumah duka? Tetapi aku tahu, Tuhan menjamin hidupku. Kerapuhanku akan digantikan dengan kesempurnaan, dan kesementaraanku akan digantikan dengan kekekalan.
Sesaat sebelum aku pergi meninggalkan rumah duka, sekali lagi aku mengintrospeksi hidupku, ”Sudahkah Tuhan Yesus menjadi pusat penyembahanku?” Hidup memang rapuh dan sementara, tetapi aku tidak mau tenggelam dalam kenyataan itu. Aku mau hidupku bermakna di dalam kerapuhan dan kesementaraan hidup. Dan aku tahu, hidup akan bermakna ketika kita ”Live to Worship God.”
Jesus bless you all.
Bernard Chiang
18 Maret 2009
No comments:
Post a Comment