Monday, April 20, 2009

Keserupaan Hidup Dalam Kristus (part 3)

KESERUPAAN HIDUP DALAM KRISTUS (Part 3)

Filipi 2:8

Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”

Pada tulisan ini kita akan belajar bersama kembali mengenai aspek ketiga dalam keserupaan hidup di dalam Kristus, yaitu “Ketaatan”. Ketaatan merupakan sebuah aspek yang sangat mudah untuk dibicarakan tetapi seringkali sulit untuk dilakukan. Walaupun sulit berarti bukan tidak mungkin untuk dilakukan.

Saya telah katakan, bahwa dalam jemaat Filipi ada masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan berjemaat maupun secara pribadi, seperti yang dijelaskan dalam Filipi 2:2-4. Sehingga dalam ayat yang kelima, Paulus mengajak jemaat Filipi kembali melihat teladan Yesus dalam menjalankan rencana keselamatan Allah bagi manusia, ketika Dia menjalani penderitaan dan kematian di atas kayu Salib untuk menebus dosa manusia.

Dua aspek kita sudah pelajari bersama. Yang pertama, teladan Yesus mengajar kita untuk melihat betapa berharganya hidup dan segala hal yang Tuhan berikan kepada kita, termasuk orang-orang yang ada di sekitar kita. Sedangkan aspek yang kedua, teladan Yesus mengajar kita untuk belajar mengosongkan diri dalam pengertian belajar untuk memberi diri dan hidup kita bagi orang lain. Dua hal ini memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Kita tidak akan dapat memberi diri kita bagi orang lain, jika kita kita tidak dapat melihat nilai diri orang lain melalui perspektif Allah.

Tapi apa hubungan dua hal tersebut dengan sebuah teladan “Ketaatan” seperti yang dikatakan Paulus dalam Filipi 2:8? Hal menarik saya temukan ketika saya membuka internet untuk mencari artikel mengenai ketaatan. Ketika saya membuka google, lalu menuliskan artikel mengenai ketaatan, kemudian search, saya cukup terkejut dengan apa yang saya temukan. Jumlah artikel mengenai ketaatan manusia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan artikel mengenai definisi ketaatan, dan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan artikel mengenai ketaatan seekor anjing. Dalam list pencarian saya di internet, bahkan ada puluhan artikel mengenai cara-cara untuk melatih seekor anjing untuk menjadi taat, disertai dengan tips dan jurus-jurus ampuh untuk berbagai jenis anjing.

Tetapi terlalu sedikit artikel mengenai ketaatan seorang manusia. Artikel-artikel yang mengajarkan jurus-jurus jitu untuk menjadi seorang manusia yang taat. Di satu sisi saya merasa lucu, tetapi di satu sisi lainnya, saya rasa setiap orang harus menghadapi sebuah kenyataan bahwa betapa sulitnya untuk mengerjakan ketaatan dalam hidup kita. Contoh sederhananya saja, mentaati peraturan lalu lintas. Seringkali sulit sekali mentaati perintah lalu lintas, kalau kita kena lampu merah, lihat kiri kanan, jalanan kosong, tidak ada polisi, sedang cepat-cepat atau tidak, anda pilih terus jalan, atau berhenti?? Mungkin bukan kita, tetapi orang-orang yang di sekitar kita seringkali melakukan hal itu. Hal ini hanyalah contoh sederhana dari betapa sulitnya mengerjakan sebuah ketaatan.

Saya rasa, pergumulan yang sama juga dialami oleh Yesus, ketika Dia menjalani jalan salib. Jalan yang harus Yesus lalui bukanlah sebuah peristiwa yang mudah, karena Dia menjalaninya dalam keadaan sebagai seorang manusia. Paulus dalam Filipi 2:8 mengatakan, “…Dalam keadaan sebagai manusia…” bukan dalam keadaan sebagai Allah, bukan berarti Yesus melepaskan ke-Allah-an-Nya, tetapi walaupun Dia, Allah, Yesus tidak mempergunakan kuasa dan kekuatan-Nya sebagai Allah. Sehingga peristiwa Salib merupakan suatu peristiwa yang secara manusia ingin sekali dihindari. Oleh karena itu, jika kita kembali melihat pergumulan Yesus dalam doa-Nya di taman Getsemani, maka kita akan melihat hal ini.

Dalam doanya di Getsemani, sebanyak tiga kali Yesus berdoa dan meminta kepada Bapa, agar cawan pahit ini lalu dari pada-Ku, dan tiga kali juga Yesus belajar untuk taat. Bahkan dalam pergumulan-Nya, Lukas melukiskan keringat Yesus seperti tetesan darah. Hal ini seakan menunjukkan kepada kita, bahwa Yesus pun pernah menghadapi pergumulan kita mengenai ketaatan. Jika demikian di mana kunci kemenangan Yesus dalam ketaatan-Nya memikul salib? Kuncinya ada pada perendahan diri.

Perendahan diri Yesus bukanlah suatu bentuk rasa minder, dan perendahan diri Yesus juga bukan penurunan status, dari Allah menjadi manusia. Tetapi perendahan diri Yesus dilakukan dalam keadaan-Nya sebagai manusia. Sehingga perendahan diri yang Yesus lakukan berbicara mengenai menjaga kesatuan, menjaga kesehatian, mendahulukan kepentingan orang lain. Perendahan diri yang Yesus lakukan menjadi salah satu kunci jawaban bagi permasalahan yang dialami oleh jemaat di Filipi.

Dan ketaatan-Nya untuk terus memikul salib bahkan sampai mati di kayu salib, merupakan wujud nyata dari perendahan diri yang Yesus lakukan. Ketaatan bukanlah sebuah teori mengenai perilaku manusia, Ketaatan juga bukan hanya sebatas tindakan, tetapi ketaatan merupakan wujud nyata dari perendahan diri kita terhadap Tuhan dan terhadap sesama.

Ketika kita belajar taat kepada Firman Tuhan, sebenarnya kita sedang belajar untuk merendahkan diri kita bagi Tuhan dan sesama. Karena jika kita melihat seluruh perintah yang Allah berikan kepada manusia, semuanya itu mengenai bagaimana kita bisa mengasihi Allah dan sesama. Dan kita tidak akan pernah dapat mentaati perintah Tuhan tersebut, jika kita tidak pernah belajar untuk merendahkan diri, belajar untuk melihat kepentingan dan kebutuhan orang lain.

Mungkin bagi kita, hal ini seringkali sulit untuk dijalani, tetapi kebangkitan Yesus telah memberikan kekuatan di dalam diri kita orang percaya untuk belajar hidup mentaati Firman Tuhan. Ada banyak ibadah yang kita ikuti sepanjang bulan Paskah ini, saya harap kita masih mengingat Firman Tuhan yang disampaikan. Saya tidak akan bertanya isi khotbahnya, tetapi saya ingin bertanya kepada anda, “Sudahkah kita menjalankan Firman Tuhan tersebut dalam hidup kita sehari-hari?”

Keserupaan Hidup Dalam Kristus (part 2)

KESERUPAAN HIDUP DI DALAM KRISTUS (PART 2)
FILIPI 2:7
“Melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”

Kita sudah belajar salah satu aspek keserupaan hidup di dalam Kristus adalah belajar melihat betapa berharganya hidup kita dan segala hal yang Tuhan berikan dalam hidup kita. Dan aspek kedua dari keserupaan hidup di dalam Kristus adalah pengosongan diri. Tema pengosongan diri secara teologis banyak sekali diperdebatkan oleh para ahli Alkitab. Dan ada banyak ribuan buku yang membahas mengenai hal ini. Namun pagi hari ini, kita tidak akan melihatnya secara teologis, tetapi kita akan melihatnya secara praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi banyak orang, pengosongan diri merupakan suatu bentuk meditasi. Orang bermeditasi berjam-jam, di tempat-tempat yang mereka rasakan cocok untuk bermeditasi, sampai mereka bisa menyatu dengan lingkungan yang ada di sekitar mereka. Artinya, pengosongan diri merupakan suatu bentuk penyatuan jiwa dengan lingkungan di sekitar kita. Bila mereka bermeditasi di alam terbuka, maka bentuk pengosongan diri adalah bersatunya jiwa mereka dengan alam. Mereka merasa bisa mendengar suara alam yang berbicara dengan mereka.

Dalam teladan Yesus ketika Dia mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia, bukan berarti Yesus bukan lagi Allah melainkan manusia sejati, Dia tetap Allah sejati. Jadi apa yang bisa kita mengerti tentang pengosongan diri Yesus? Pengosongan diri yang dilakukan Yesus adalah suatu bentuk kesediaan-Nya untuk menjadi manusia, sehingga Dia bisa berkomunikasi dengan manusia. Supaya Dia tahu pergumulan hidup saudara dan saya. Kita tahu, dalam sepanjang Perjanjian Lama, Allah adalah Allah yang kudus, yang tidak dapat melihat dosa, sehingga tidak ada satu manusia pun yang dapat melihat Allah.

Dalam Perjanjian Lama, Allah selalu berbicara melalui perantaraan Musa, dan ketika Allah berbicara dengan Musa, itupun tidak dalam kondisi Allah menyatakan diri secara langsung kepada Musa, tetapi melalui penampakan, seperti nyala api. Dalam peristiwa Elia berbicara kepada Allah, Allah pun menyatakan diri dalam bentuk angin. Kita ingat dalam peristiwa Yesaya, ketika Yesaya melihat kemuliaan Allah, Yesaya langsung berkata, “Celakalah aku..” Karena tidak ada satu orangpun yang dapat bertahan melihat kemuliaan Allah yang besar. Dan hanya ada satu saat di mana Allah berhadapan muka langsung dengan manusia yaitu ketika manusia belum jatuh ke dalam dosa.

Dosa membuat manusia tidak lagi dapat berbicara langsung kepada Allah. Dosa juga membuat manusia selalu menyalahkan Tuhan atas segala kesulitan hidup yang dideritanya. Apakah kita masih ingat, ketika bangsa Israel melintasi padang gurun setelah keluar dari Mesir? Bangsa Israel berkata kepada Allah, “Apakah karena di Mesir tidak ada lagi kuburan untuk kami, sehingga kami harus mati di padang gurun?” Saudara, apa yang dikatakan oleh bangsa Israel seringkali menjadi cerminan hidup bagi kita. Kita sering mengeluh kepada Tuhan, terkadang kita kuatir, dan pada saat itu, seringkali kita menganggap Tuhan tidak bisa mengerti pergumulan dan masalahku.

Contoh sederhananya, jika kita diharuskan menyatakan kasih Agape kepada setiap orang, bisakah kita lakukan? Lalu, kita berkata, Tuhan Yesus aja bisa, masa kita ga bisa? Biasanya respon apa yang kita keluarkan? Seringkali banyak orang berkata, “kita kan manusia, sedangkan Yesus itu Allah, jadi jangan disamakan donk.” Saudara, betapa seringnya kita membuat excuse bagi diri kita dengan mengatakan Yesus itu Allah dan kita ini manusia, sehingga jika kita tidak dapat melakukan perintah Tuhan, Tuhan pasti bisa maklum deh.

Oleh karena itu, Yesus turun ke dalam dunia, Dia mengosongkan diri-Nya, artinya Dia tidak menggunakan hak istimewa-Nya sebagai Allah, supaya dia bisa menjadi manusia, sama seperti kita. Yesus bisa haus, Dia bisa lapar, Dia bisa marah, Dia bisa lelah, dan yang terpenting adalah Yesus mengalami apa yang saudara dan saya alami. Dia menjadi manusia bukan mengambil rupa seorang presiden, bukan rupa seorang kaya, bukan rupa seorang tuan, tetapi mengambil rupa seorang hamba. Supaya Dia bisa mengerti kekuatiran kita, supaya Dia bisa merasakan sakitnya dikhiniati dan dilukai, supaya Dia bisa merasakan ketakutan kita, supaya Dia bisa merasakan sulitnya menjalani dan mentaati perintah Allah. Sehingga penulis surat Ibrani berkata dalam Ibrani 4:15, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah Imam Besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” Dalam terjemahan New Living Translation, dikatakan bahwa pencobaan-pencobaan Yesus itu sama dengan pencobaan-pencobaan kita.

Dengan kata lain, “pengosongan diri” yang Yesus lakukan seolah ingin berkata kepada kita, “Aku tahu pergumulanmu, Aku mengerti kesulitan hidupmu, Aku tahu sulitnya melakukan perintah-perintah-Ku, tetapi Aku bisa melakukannya, dan Aku melakukannya tanpa menggunakan kuasa-Ku sebagai Allah, tetapi dalam keadaan-Ku sebagai manusia.”

Peristiwa Jumat Agung merupakan suatu peristiwa yang Mulia. Suatu peristiwa di mana Yesus yang adalah Allah rela turun ke dalam dunia, untuk bisa mengerti hidup manusia dan menjadi Pengantara manusia dengan Allah. Oleh karena itu, biarlah di dalam Bulan Paskah ini, kita juga dapat dipakai menjadi saluran berkat Tuhan bagi sesama kita. Ketika kita bisa memberikan diri kita bagi orang lain, menjadi pendengar yang baik bagi orang lain, dan menjadi pendoa bagi sesama kita yang sedang memiliki masalah dan pergumulan hidup yang sulit, sama seperti Yesus telah melakukannya terlebih dahulu bagi kita.

Thursday, April 9, 2009

KESERUPAAN HIDUP DALAM KRISTUS (PART 1)
FILIPI 2:6
“Yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan.”

Dalam minggu ini, setiap orang Kristen sibuk dengan segala persiapan untuk rangkaian kegiatan Jumat Agung dan Paskah. Bahkan setiap pemeluk agama Katolik, sudah memulai puasa pada minggu-minggu sebelumnya, untuk mempersiapkan diri masuk ke dalam Jumat Agung dan Paskah. Saya ingat ketika saya sekolah (dari TK sampai SMA di Strada), dua mniggu sebelum Paskah kami diikutsertakan dalam Misa di Gereja Katolik, yang diakhiri dengan mengambil komitmen untuk berpuasa. Saya rasa bukan hanya dalam Katolik saja, tetapi dalam kekristenan pun persiapan untuk masuk dalam Paskah juga terus dilakukan.
Jumat Agung dan Paskah selalu memiliki makna yang mendalam di kehidupan setiap orang yang percaya kepada Yesus. Di Filipina, Jumat Agung diperingati dalam cara yang agak ekstrim, yaitu dengan menyalibkan seseorang sama seperti Tuhan Yesus dan diarak berkeliling kota.Di Spanyol peringatan Jumat Agung dirayakan selama 9 jam, dengan 4000 orang memikul pasos (patung-patung kayu Yesus seukuran manusia, ada juga patung Bunda Maria, yang ditempatkan di atas sebuah kereta dan dipikul keliling kota yang beratnya mencapai 5 ton). Dan tentunya masih banyak lagi prosesi perayaan yang menarik dan unik di berbagai Negara lainnya.
Namun yang menarik dari semuanya itu adalah suatu kenyataan bahwa setiap orang berupaya sekuat tenaga untuk menyerupai Kristus dalam penderitaan-Nya, ketika Yesus menapaki jalan salib. Baik dengan menyalibkan diri di salib ataupun dengan membuat patung-patung seberat 5 ton yang diarak keliling kota. Tujuan utamanya adalah agar mereka dapat memaknai Jumat Agung, di mana Yesus menderita dan mati untuk menebus dosa manusia. Namun jika kita berpikir sejenak mengenai berbagai macam kegiatan Jumat Agung dan Paskah, “Apakah keserupaan yang seperti ini yang diinginkan Tuhan ketika kita mengenang penderitaan, kematian, bahkan kebangkitan-Nya nanti? Tentu saja TIDAK. Bahkan ketika Paulus berkata hal demikian dalam Filipi 3:10, bukan berarti kematian kita harus serupa dengan Dia, atau penderitaan kita harus sama dengan Yesus, tetapi makna dari kematian-Nya, makna dari penderitaan-Nya, itulah ide yang dijelaskan Paulus dalam hal ini.Bukan “How Jesus Die”, tetapi “Why Jesus Die”. Bukan keserupaan dalam CARA tetapi keserupaan dalam HIDUP.
Hal inilah yang ditegaskan oleh Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Filipi. Mereka adalah orang-orang yang sudah percaya kepada Yesus, mereka sudah menerima anugerah keselamatan dari Yesus, mereka pernah menjadi jemaat yang luar biasa bertumbuh dalam iman kepada Yesus, sesuatu yang dapat kita lihat dalam Ucapan syukur dan doa Paulus dalam Filipi 1:3-11. Tetapi ketika mulai masuk dalam Filipi 1:12-seterusnya kita mulai melihat ada masalah dan pergumulan dalam kehidupan mereka berjemaat, yang beberapa diantaranya muncul dalam Filipi 2:2-5. Mereka tidak lagi sehati, sepikir, mereka mulai mencari kepentingan diri sendiri, dan mereka tidak lagi menaruh pikiran dan perasaan dalam Kristus. Sehingga Paulus kembali menggunakan teladan Yesus untuk mengajar jemaat di Filipi. Yaitu dalam Filipi 2:6, “Yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan.”
Teladan ini merupakan sebuah teladan yang luar biasa. Sebuah teladan yang sempurna. Di tengah keinginan manusia menjadi Allah, Yesus justru tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan, supaya Dia dapat turun ke dalam dunia menjadi sama dengan manusia. Apakah anda pernah berpikir betapa enaknya menjadi Allah? Saya terkadang berpikir seperti itu. Wah betapa enaknya jadi Allah, bisa atur ini-atur itu. Buat hidup jadi lancar, bikin keinginan hidup saya terpenuhi. Saya suka dengan film “Bruce Almighty”. Film ini menceritakan tentang seorang manusia yang merasa hidupnya berantakan, dan dia menganggap Tuhanlah penyebab kesalahan itu. Jadi Sampai akhirnya Tuhan memberikan dia kesempatan untuk merasakan dan menjadi Allah. Dia mulai beraksi, dia bereskan hidupnya, masa lalunya yang buruk menjadi apa yang dia inginkan. Bukankah hal ini yang diinginkan setiap manusia, yang telah membuat Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa?
Namun Tuhan menjalani sesuatu yang tidak masuk akal dalam pikiran manusia. Dia lebih memilih turun ke dalam dunia dan menjadi manusia, dibandingkan mempertahankan posisinya dan eksistensinya sebagai Allah. Dia lebih memilih untuk menempuh jalan salib dibandingkan kenyamanan surga. Dia lebih memilih anda dan saya diselamatkan daripada Dia harus melihat kita binasa.
Anugerah keselamatan yang diberikan oleh Yesus Kristus selalu memiliki dua sisi untuk dipandang. Sisi yang pertama adalah sisi yang senantiasa manusia lihat. Manusia melihat betapa dirinya adalah manusia yang hina, manusia yang tidak layak untuk dikasihi, manusia yang tidak layak untuk menerima anugerah keselamatan dari Tuhan Yesus. Tetapi ada satu sisi lainnya yang senantiasa Allah lihat, yaitu betapa berharganya kita bagi Allah. Seburuk apapun manusia, sejelek apapun manusia, kita tetap merupakan ciptaan yang paling berharga bagi Allah. Dan itulah yang membuat Tuhan Yesus rela meninggalkan tahta kerajaan-Nya untuk turun ke dalam dunia yang kotor dan hina, untuk menyelamatkan manusia yang berharga bagi Allah supaya tidak binasa.
Di dalam hidup ini ada banyak hal yang berharga, yang andaikan saja kita mau berhenti sejenak dan melihatnya dalam cara bagaimana Tuhan Yesus melihatnya. Namun betapa seringnya kita mengabaikannya, hanya karena kita selalu melihat ketidak-layakkan dalam sisi manusia. Sadarkah kita betapa berharganya keluarga kita? Jika ya, berapa banyak waktu yang sudah kita berikan untuk keluarga kita?? Sadarkah kita betapa berharganya hidup kita? Jika ya, seberapa banyak waktu yang sudah kita berikan untuk membangun diri kita, membangun iman kita? Saat Teduh?? Doa pribadi?? Sadarkah kita betapa berharganya saudara seiman kita?? Orang-orang yang duduk di sisi kita ketika kita beribadah?? Jika ya, sudahkah kita memperhatikan mereka, tahu pergumulan hidup yang mereka hadapi, dan bukan membicarakan kejelekannya tetapi berdoa baginya??
Peristiwa Jumat Agung dan Paskah bukan hanya sekedar berbicara mengenai peristiwa kematian Yesus Kristus di atas kayu salib untuk menebus dosa manusia. Tetapi kedua peristiwa ini menunjukkan kepada kita nilai diri kita di hadapan Tuhan. Yang menunjukkan betapa berhaganya kita di hadapa Tuhan. Sehingga bagi Tuhan Yesus, turun ke dalam dunia dan mati bagi manusia bukanlah sebuah misi yang patut untuk disesalkan tetapi sebuah misi yang layak untuk dijalani, supaya anda dan saya dapat memiliki relasi kembali dengan Allah.
Demikian halnya dalam hidup kita. Keserupaan hidup dengan Kristus yang dapat kita pelajari hari ini adalah Belajarlah melihat betapa berharganya segala sesuatu yang Tuhan berikan dalam hidup kita (keluarga, masalah, hidup, maupun saudara seiman). Dan bukan hanya belajar tetapi juga lakukanlah semuanya itu dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai murid Kristus.

Monday, April 6, 2009

Jumat Agung

KEAGUNGAN JUMAT AGUNG

Dalam bulan Maret ini, banyak umat Kristiani (Kristen dan Katolik) mempersiapkan diri memasuki Jumat Agung pada tanggal 10 April 2009. Ada yang berpuasa, ada juga yang melakukan meditasi, maupun mendengarkan kotbah-kotbah yang bertemakan kesengsaraan dan kematian Kristus. Namun, apabila setiap umat kristiani berhenti sejenak dari perenungannya dan merefleksikan perenungannya, maka akan muncul sebuah pertanyaan, “Dimanakah letak keagungan hari Jumat Agung?”

Dalam budaya barat, untuk menyebut Jumat Agung digunakan istilah ”Good Friday.” Jika menilik pengertian kata “agung” yang berarti besar, mulia, luhur, dan kata “keagungan” yang berarti kemuliaan, kebesaran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990), rasanya sulit untuk melihat keagungan dalam Jumat Agung. Kesengsaraan, penderitaan, bahkan kematian yang dialami oleh Yesus, lebih memiliki konotasi sebagai sesuatu yang hina. Hukuman salib pada masa kekuasaan Romawi, merupakan suatu bentuk hukuman yang merendahkan harkat orang yang disalibkan. Hukuman salib biasa digunakan untuk menghukum mati mereka yang dikutuk. Nilai sebuah kesengsaraan dan hukuman salib “mengharuskan” ketiadaan keagungan dalam peristiwa Jumat Agung.

Namun demikian, Jumat Agung tetap menyimpan banyak hal yang menyatakan keagungan-Nya. Keagungan Jumat Agung harus dilihat dalam perspektif makna dan alasan Yesus Kristus mau menjalani semua hukuman tersebut dalam ketidak-berdosaan-Nya. Bahkan Raja Herodes dan Pontius Pilatus pun tidak dapat menemukan kesalahan dalam diri Yesus (Lukas 23:13-25). Yesus menjalani hukuman dan kesengsaraan, semata-mata untuk menebus dan menghapuskan dosa manusia, sehingga manusia dipersatukan dengan Tuhan. Seorang teolog bernama John Piper, dalam bukunya Fifty Reasons Why Jesus Came To Die, mengatakan, “If we criminals are to go free and be forgiven, there must be some dramatic demonstration that the honor of God is upheld even though former blasphemers are being set free. That is why Christ suffered and die.”

Di sisi lain, apa yang dilakukan Yesus melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib, meninggalkan suatu nilai dan teladan hidup memberi diri bagi orang lain. Kerelaan-Nya untuk memberi diri bagi manusia berdosa, menambah indahnya keagungan Jumat Agung. Dimulai ketika, Yesus yang adalah Allah rela merendahkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba, menjadi manusia, sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa –karena Yesus tidak berdosa. Semua itu Dia lakukan, bahkan sampai naik ke atas salib dan menjadi korban tebusan bagi manusia yang tidak sanggup untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Inilah keagungan dalam Jumat Agung.

Akhirnya, alangkah indahnya bangsa Indonesia, apabila setiap orang dalam bangsa ini saling berbagi dalam hidup bermasyarakat sebagai suatu komunitas bukan individualistis. Alangkah indahnya juga, apabila para pejabat juga bisa berbagi kepada rakyat yang masih menanti janji para elite ketika kampanye, yang menyerukan kesejahteraan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dan begitu juga halnya dengan gereja. Bukankah indah, apabila gereja bisa bergerak sebagai satu kesatuan tubuh Kristus bukan bagian per bagian yang bergerak masing-masing demi kepentingan dan ambisi pribadi. Dan alangkah mulianya apabila setiap orang saling merendahkah diri dan memberi dirinya bagi sesama saudara seiman. Bukan hanya berkata-kata tetapi melakukannya secara nyata dalam kehidupan berjemaat, sehingga Tuhan Yesus dimuliakan dan ditinggikan.

Teladan agung yang diberikan oleh Tuhan Yesus, mengajak setiap umat kristiani untuk memaknai kembali pengertian Tubuh Kristus, jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita (1 Korintus 12:26). Selamat menikmati keagungan Jumat Agung.

Bernard Chiang

b3rn_art@yahoo.com

http://myreflectionstory.blogspot.com

31 Maret 2009